SELAMAT DATANG DI BLOG ISLAM-nya Mbah Atmo, kunjungi juga blog Mbah Atmo yang lain

Kamis, 03 Desember 2020

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN


 A.          Wayang Sebagai Sumber Nilai – nilai

Dalam mencari nilai-nilai luhur yang datang dari sumber-sumber di Indonesia sendiri, bangsa ini mempunyai banyak pilihan. Nilai-nilai itu dapat dicari dari agama-agama besar atau kepercayaan yang ada (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan/ Kebatinan/ Mistisisme). Selain itu nilai-nilai luhur juga dapat dicari dari karya-karya seni seperti : seni sastra, seni tari, seni rupa, seni teater, seni musik dan lain sebagainya.

Salah satu bentuk karya seni yang dapat digunakan sebagai sumber pencarian nilai-nilai adalah seni wayang kulit Jawa. Karena di dalam wayang atau pewayangan terdapat berbagai ajaran dan nilai etis yang bersumber dari berbagai agama serta filsafat, etika. Diantara nilai-nilai yang ada dalam wayang atau pewayangan antara lain : nilai spiritual, nilai kepemimpinan, nilai kepahlawanan/ keprajuritan, nilai kewarganegaraan.

1.      Nilai Spiritual

Dalam cerita atau lakon pewayangan terkandung nilai-nilai spiritual. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama dewa seperti : Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa), Sang Hyang Tunggal (Yang Maha Esa), Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Pencipta Dunia), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Penguasa Kehidupan). Dari nama-nama tersebut dapat kita cermati  bahwa dalam pewayangan menganut paham monotheisme yaitu mengakui bahwa Tuhan itu satu, Tuhan adalah pencipta dunia beserta isinya, Tuhan juga yang menguasai kehidupan.

Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. Al Ikhlas : 1-4 :

öArtinya “ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa(1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu (2) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan (3) Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia(4)."

Selain itu dalam pewayangan juga mengenal  istilah utusan Tuhan, dalam hal ini tokoh Kresna-lah yang diyakini sebagai utusan atau titisan dewa/ Tuhan untuk membimbing manusia menuju jalan yang benar. Dalam cerita Bagawad Gita, Kresna memberi wejangan/ ajaran kepada Pandawa (Arjuna) agar dapat menjalankan tugasnya sebagai ksatria/ prajurit dengan tetap maju ke medan perang dan memberantas ke-angkaramurka-an.  Kresna sebagai utusan Tuhan diyakini membawa ajaran-ajaran Tuhan (lakon Wahyon).

Dalam pewayangan terdapat ajaran Sangkan Paraning Dumadi (asal mula dan akhir/ tujuan kehidupan) yang mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, sehingga manusia akan selalu berhati-hati dalam bertindak, karena dirinya nantinya akan kembali kepada Tuhan (Allah). Selain itu terdapat pula ajaran yang dilambangkan oleh kepercayaan bahwa manusia harus menyatu dengan kehendak Tuhan, ajaran ini disebut Manunggaling Kawulo Gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan). Ajaran ini jangan disalah-artikan menyatunya manusia dengan Tuhan adalah jasadnya, sehingga manusia tersebut tidak menjalankan aktivitas sebagaimana layaknya manusia biasa, tetapi menyatunya jiwa manusia dengan sifat-sifat Tuhan. Manusia yang telah menyatu dengan Tuhan adalah manusia yang telah mempunyai/ mengamalkan sifat-sifat Tuhan, sehingga dalam hidupnya selalu didasari oleh ke-Tuhan-an.

Dalam cerita/ lakon Wahyu Purbasejati, Resi Wiyasa mengajarkan manusia untuk percaya kepada enam hal : Kekuasaan Tuhan, Wakil Tuhan, Kebenaran Kitab-kitab Tuhan, Utusan Tuhan, Kepastian/ Takdir Tuhan, dan Pengadilan Tuhan. Sedang dalam lakon Wahyu Jatiwesesa, Wisanggeni mengajarkan “ajaran lima” yang dikenal dengan ‘Ma Lima”, yakni: manembah (Menyembah) kepada Tuhan, menepi (tidak boleh bertengkar), maguru (berguru/belajar), mengabdi (mengabdi) kepada keluarga, tetangga/ masyarakat, atasan/ tempat kerja, negara dan agama, dan makarya (bekerja) tanpa pamrih.

Dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam wayang tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam wayang/ pewayangan terdapat ajaran/ nilai-nilai tentang ke-Tuhan-an antara lain sebagai berikut :

a.       Mengakui bahwa Tuhan hanyalah satu.

b.      Mengakui kekuasaan tertinggi ditangan Tuhan.

c.       Mengakui Utusan Tuhan.

d.      Mengakui Kitab-kitab Tuhan.

e.       Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, maka manusia harus melaksanakan ajaran/ syari’at sebagai bekal menghadap Tuhan.

f.       Mengakui adanya kodrat Tuhan (Islam :qada dan qadar).

seluruh nilai tersebut apabila diperhatikan dan diresapi serta dijalankan dalam kehidupan nyata, maka akan tercipta suatu keyakinan yang mendalam pada diri setiap manusia bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu berkuasa dan manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, sehingga akan berhati-hati dalam berbuat.

2.      Nilai Kepemimpinan

Dalam wayang terdapat suatu sistem ketatanegaraan yang terdiri dari ratu/ raja sebagai pemimpin suatu wilayah/ kerajaan. Menurut wayang/ pewayangan, raja/ pemimpin yang ideal adalah raja yang mempunyai ciri-ciri sebagi berikut :

a.       Raja yang mendapat “percikan” Tuhan, dan dengan emikian memiliki sifat-sifat Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti), seperti Arjuna Sasrabahu, Rama, Kresna.

b.      (Mencontoh Puntadewa), selalu mengikuti tatakrama (dari julukan “Gunatalikrama”), adil dan ikhlas (“Darmakusuma”), bersifat seperti pendeta (“Dwikangka”), tidak mempunyai musuh (“Ajatasatru”).

c.       (Mencontoh Kresna), selau diikuti kehendaknya (“Harimurti”), pemurah (”Danardana”), menjadi mercu suar bagi segala raja (“Lengkawamanik”), sakti/ kuasa.

d.      Menjalankan dharma-dharma (kewajiban-kewajibannya dengan baik), karena itu raja harus ahli dalam spiritual (tanuhita), pengabdian (dharmahita), keprajuritan (sarahita), dan kesusilaan (samahita).

e.       Memiliki watak-watak kepemimpinan yang meniru sifat-sifat keutamaan alam (ajaran Hastha Brata) yaitu :

1)      Mehambeg mring kismo (bumi) : setia memberi kebutuhan-kebutuhan hidup kepada siapa saja, sabar (diinjak-injak diam saja).

2)      Mehambeg mring warih (air) : selalu turun ke bawah (rakyat) dan memberi kesejukan (ketentraman).

3)      Mehambeg mring semirana (angin) : ada dimana saja (adil), dan memberi kesejukan (ketentraman).

4)      Mehambeg ing candra (bulan) : memberi penerangan yang sejuk, indah (memberi kebahagiaan, harapan).

5)      Mehambeg mring surya (matahari) memberi sinar keseluruh jagat raya dan memberi hidup (sumber petunjuk dan hidup).

6)      Mehambeg mring samodro (samudra) : luas tak bertepi, tempat membuang apa saja (kasih sayang dan kesabarannya tak terbatas).

7)      Mehambeg mring wukir (gunung) : kukuh, kuat (kukuh dan kuat untuk melindungi rakyat).

8)      Mehambeg mring dahana (api) : mampu membakar dan memberi kehangatan (mampu memberantas kejahatan dan memberi kenikmatan).

Menurut J. Riberu dalam Dasar-dasar Kepemimpinan, mengemukakan pemimpin sebaiknya memiliki kedewasaan yang terbagi menjadi lima kedewasaan :

a.       Kedewasaan emosional (mampu memelihara keseimbangan perasaan, tidak begitu saja dipengaruhi gejolak-gejolak hati yang bergelora, sebaliknya mampu mengendalikannya).

b.      Kedewasaan intelektual (memiliki kemampuan berpikir yang sudah cukup berkembang sehingga dapat menyusun jalan pikiran serta argumentasi dan mampu mendengarkan dan bersifat terbuka terhadap jalan pikiran dan argumentasi orang lain).

c.       Kedewasaan sosial (mampu menjalin hubungan secara manuiawi, mampu bergaul secara wajar dengan siapa saja, tidak kikuk, tidak bersikap menyendiri dan tertutup, kurang komunikatif, bisa menunjukkan perhatian terhadap pribadi orang lain).

d.      Kedewasaan kehendak (mampu merumuskan bagi dirinya sasaran yang ingin dicapai, tujuan yang hendak diraih, lalu sanggup mengarahkan seluruh pribadinya dengan bakat dan pembawaannya ke tujuan itu).

e.       Kedewasaan etik (memiliki pertimbangan baik-buruk yang mantap, yang mengkaji segala segi sambil berpegang kapada kaidah susila yang dianut, lalu berusaha mengatur peri lakunya).

Nilai-nilai kepemimpinan tersebut apabila dimiliki oleh pemimpin pada masa sekarang, maka seluruh rakyat akan merasa tentram, damai, bahagia, dan tidak ada tindak kejahatan yang merajalela. Namun untuk dapat memiliki nilai-nilai kepemimpinan tersebut tidaklah mudah, harus didasari dengan niat yang tulus, sabar, berpendirian yang kuat (mampu mengalahkan cobaan).

Selain nilai-nilai yang telah disebutkan diatas, dalam pewayangan juga memberikan pelajaran tentang nilai kedisplinan dan konsekuensi. Nilai tersebut dikenal dengan sikap Bawalaksana. Sikap ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang secara konsekwen selalu bertekad untuk melaksanakan apa yang telah diucapkannya. Maka dalam etika Jawa dikenal suatu ungkapan yang berbunyi “Sabda Pandhita ratu tan keno wola wali”, secara harfiah artinya adalah “ ucapan Pendeta (dan) Raja, tidak boleh diulang-ulang”.

Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa seorang pemimpin harus konsekwen untuk melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah di ucapkannya apapun akibatnya. Dalam pepatah dikenal dengan “jangan menjilat ludah sendiri”. Jadi seorang pemimpin harus hati-hati dalam mengambil kebijakan, harus memperhitungkan dengan matang sebelum mengambil sebuah keputusan. Jangan sampai seorang pemimpin dalam mengambil keputusannya mencla-mencle yang dalam istilah Jawa dikenal “esuk tempe sore dele” (pagi tempe sore kedelai).

3.      Nilai Kepahlawanan/ Keprajuritan

Tokoh dalam wayang kebanyakan adalah tokoh ksatria/ prajurit yang siap berperang membela kerajaan/ negaranya. Adapun Ksatria yang ideal, menurut wayang, adalah ksatria yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a.       Mencontoh Werkudara: bisa memberi ilmu lahir dan batin (Dwijoseno), memiliki kekuatan yang dasyat (Bilawa), gagah perkasa (Bima), termasyur (kowara), berlandaskan kebenaran dan kenyataan, dan sangat berahaja (Nagata), ahli dalam peperangan (Kusumadilaga), bisa menjadi bintang perang (Kusumayudha), besar dan menakutkan (Birawa), teguh hati/ konsekuen/ bertanggung jawab (Dandun), memiliki sifat angin (Bayuninda), dan berpendirian dasyat (Wijasena).

b.      Mencontoh Arjuna: memiliki air kehidupan dan kesucian (Harjuna), bijak (Permadi), amat berharga sehingga bisa melahirkan zaman (Janaka), menjadi tempat kehidupan atau tempat rasa (Kumbalyali), melebihi sesamanya (Janawi), sentosa lahir dan batin (Parta), senang melindungi atau senang berkorban untuk keunggulan (Dananjaya), senang berprihatin (Danasmara), dan mempunyai daya angin (Narga-na).

c.       Mencontoh Anoman: berkodrat lebih dari yang lain (Sanggana), suci kata-katanya (Prabacana), panjang umur (Suwiyuswa), pendeta yang suka mengajar (Kapawira), pahlawan kepercayaan raja (Handhayapati), dapat diandalkan dimedan perang (Yudhaisama), dan mempunyai wibawa angin (Maruta atau Maruti).

d.      Mengikuti ajaran lima belas secara konsekuen:

1.      Wijanya: bijaksana dalam berbakti kepada negara.

2.      Mantri wira: dengan senang berbakti kepada negara.

3.      Wicaksana maya: bijaksana dalam berbicara dan bertindak.

4.      Matangwan: dikasihi dan dicintai rakyat.

5.      Satya baktya prabu: setia kepada negara dan raja setulus hati.

6.      Wakniwak: tidak berpura-pura, mulut dan hati harus satu.

7.      Seharwa pasaman: sabar dan sareh (tidak gugup) dalam hati.

8.      Dirut saha: jujur, teliti, sungguh-sungguh setia.

9.      Tan lelana: budi kokoh dapat melenyapkan pancaindera yang jelek.

10.  Diwiyacita: menghilangkan kepentingan pribadi, lebih mementingkan kepentingan negara.

11.  Masisi samastha buwana: memperjuangkan kesempurnaan diri dan jagat raya, kemakmuran negara, dan mengagungkan nama yang membuat jagat (Allah).

12.  Sih samastha buwana: setia kepada negara dan rakyat agar tertib dan makmur.

13.  Dinrang prati dina; meninggalkan tindak yang jelek mengutamakan tindak yang baik, menjauhkan pertengkaran, agar rukun bebrayan agung (seluruh dunia).

14.  Sumantri: menghamba selama hidup.

15.  Hanaya ken musuh: mengorbankan jiwa untuk negara, berlandaskan kebenaran dan keadilan.

e.       Mencontoh Pandawa Lima:

1.      Darmakusuma: adil, tidak terikat oleh keduniaan.

2.      Bima: sentosa lahir dan batin.

3.      Arjuna: menolong yang sedang dalam kesusahan.

4.      Nakula: mengusahakan kehidupan ekonomi yang baik.

5.      Sadewa: religius.

f.       Memiliki sifat-sifat keutamaan:

1.      mempunyai pangaotan (pekerjaan).

2.      Gemi (hemat).

3.      Nastiti: berhati-hati (dalam arti luas dan baik)

4.      Sudiro: berani bertindak secara tatag (berani), titis (tepat sasaran/ tujuan), dan tanggon (tangguh).

5.      Susila: dapat menempatkan diri di semua tempat dan keadaan.

6.      Anoraga: ingat asal-usul tubuhnya (Tuhan)

7.      Sambegana: bijaksana, dapat membaca keadaan dan waktu dengan jalan menggunakan kedewasaan berpikir.

4.      Nilai Kewarganegaraan

Selain pemimpin dan ksatria, dalam wayang juga terdapat tokoh yang perannya sebagai rakyat (abdi). Tokoh ini diwakili oleh tokoh Punakawan yang merupakan abdi (pelayan) para Pandawa. Tokoh Punakawan adalah tokoh asli dari Indonesia, karena para tokoh tersebut tidak terdapat dalam cerita asli (kitab) Mahabarata maupun Ramayana.  

Peranan dan kegunaan para Punakawan dalam seni pewayangan ataupun dalam seni pedalangan sangat penting artinya dan besar manfaatnya baik sebagai penyedap pergelaran maupun sebagai prasarana  penyampaian pesan-pesan dalam bahasa rakyat. Walaupun hanya sebagai abdi, namun para Punakawan mendapat tempat dihati tuannya, karena sifat dan sikapnya yang baik.

Adapun ciri-ciri warga negara yang ideal, sebagaimana dilambangkan oleh Punakawan adalah sebagai berikut:

a.       Menjadi penasehat atau cahaya tuntunan bagi ksatria yang sedang kesulitan, kebimbangan, atau kegelapan

b.      Menjadi pemberi semangat waktu ksatria sedang putus asa.

c.       Menjadi penyelamat waktu ksatria dalam bahaya.

d.      Menjadi penjaga/ pencegah waktu ksatria dalam keadaan kritis.

e.       Menjadi teman waktu ksatria kesepian.

f.       Menjadi penyembuh waktu ksatria dalam keadaan sakit.

g.      Menjadi penghibur pada waktu ksatria dalam kesusahan.

h.      Menjadi pamong ksatria.

i.        Menjadi petunjuk bagi tuannya.

j.        Bersifat sepi ing pamrih rame ing gawe agar dapat mensejahterakan dirinya (memayu hayuning diri) dan mensejahterakan dunia (memayu hayuning bawana).

k.      Berbudi pekerti luhur, membela kebenaran dan mau berkorban.

Dari nilai-nilai yang ada dalam wayang/ pewayangan tersebut dapatlah kita ambil sebagai sumber pencarian nilai-nilai kehidupan nyata, sehingga terciptalah suatu kehidupan yang aman, tentram, damai, sejahtera serta gemah ripah loh jinawi. Apabila seluruh lapisan masyarakat memahami akan posisi dan mengetahui akan hak dan kewajiban-kewajibannya (mewayu hayuning bawana: mensejahterakan dunia), maka tidak akan ada penjajahan dan pertikaian.

 

B.           Wayang Sebagai Wahana Pendidikan

Selain sebagai sumber pencarian nilai-nilai luhur sebagaimana telah diuraikan diatas, wayang juga dapat digunakan sebagai wahana pendidikan. Wayang dapat digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan/ nilai-nilai yang terdapat dalam wayang/ pewayangan. Pertunjukan wayang merupakan media pendidikan yang menawarkan metode pendidikan yang menarik. Karena wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilainya tidak secara dogmatis, tetapi ia menawarkan ajaran dan nilai-nilai itu ; terserah kepada penonton (masyarakat dan individu-individu) sendiri untuk menafsirkannya, menilai dan memilih ajaran dan nilai-nilai mana yang sesuai dengan pribadi atau hidup mereka.

Wayang mengajarkan ajaran dan nilai-nilai tidak secara teoritis saja (berupa ajaran dan nilai-nilai) melainkan secara kongkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang kongkret sebagai teladan. Selanjutnya wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilai-nilai secara kaku dan akademis, melainkan ia disamping mengajak penonoton untuk berpikir dan mencari sendiri, ia juga mendidik penonton melalui hati/ rasanya dengan jalan adegan-adegan lucu, adegan mengharukan atau menyentuh hati, membuat hati geram dan lain-lainnya.

Wayang juga dapat dimodifikasi sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga sasaran untuk menyampaikan pesan/ ajaran/ nilai-nilai bisa lebih terarah. Sebagai contoh; pertunjukan wayang dihadapan para pejabat pemerintahan, maka lakon/ cerita yang ditampilkan  mengenai ketatanegaraan yang lebih condong kepada penyampaian pesan moral bagaimana menjadi pemimpin yang baik sesuai dengan harapan rakyat. Apabila pertunjukan wayang dihadapan rakyat biasa, maka lakon yang disajikan lebih dititik beratkan pada pendidikan tauhid (keagamaan) dan bagaimana menjadi warganegara yang baik.

Dalam pertunjukan wayang juga dapat digunakan sebagai sarana tukar pikiran antara pemimpin dan rakyat, sebagai ajang menyampaikan  aspirasi rakyat (terutama pada adegan goro-goro) sebagaimana telah dilakukan oleh Bupati Sragen Jawa Tengah yang juga berprofesi sebagai dalang. Dengan media wayang rakyat tidak canggung untuk memberikan kritik dan saran kepada pemimpinnya, selain itu juga dapat digunakan sebagai alat penyuluhan yang sangat efektif, karena masyarakat tidak merasa didoktrin, tetapi diajak berpikir mengenai masalah yang tengah dihadapi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar